Wednesday, July 11, 2012

Sunday, July 8, 2012

ABRASI DI PANTAI PABIRINGA KAB. JENEPONTO


Wilayah pesisir adalah suatu wilayah dimana interaksi antara daratan dan laut  (Djauhari Noor, 2011). Sejak awal peradaban manusia wilayah telah dijadikan sebagai tempat untuk beraktifitas seperti perdagangan, pelayaran, perikanan, pariwisata dan berbagai aktifitas lainnya. Pabiringa sendiri merupakan salah kelurahan di Kab. Jeneponto yang terletak di pesisir selatan kabupaten tersebut. Kawasan pesisir ini memiliki arti penting bagi masyarakat Pabiringa yang bermukin di sekitar kawasan tersebut. Selain memiliki keanekaragaman yang tinggi juga merupakan aktivitas ekonomi yang tinggi seperti wilayah rekreasi, budidaya perikanan dan rumput laut. Namun beberapa tahun terakhir abrasi mengancam daerah tersebut.
Abrasi yang terjadi di Pantai Pabiringa ini semakin mengkhawatirkan. Abrasi adalah pengikisan daratan yang disebabkan oleh aktivitas air laut. Proses yang terjadi secara alami ini dapat menjadi masalah bagi masyarakat sekitar. Jika tidak disediakan pencegahan terhadap abrasi air laut ini maka akan terjadi degradasi sistem alamiah yang berujung pada terjadinya perubahan garis pantai. Kerugian  yang telah ditimbulkan oleh abrasi ini selama beberapa tahun terakhir menurut pantauan penulis yaitu merusak beberapa tambak (empang) masyarakat yang digunakan untuk budidaya ikan dan udang. Akibat dari abrasi ini pula telah merusak beberapa tanggul yang digunakan untuk mencegah terjadinya abrasi ini. Abrasi ini pula dapat mengancam keberadaan salah satu hotel di kawasan tersebut (Hotel Bintang Karaeng).
Langkah yang dapat ditempuh salah satunya adalah melakukan  pengelolaan pesisir secara terpadu yakni proses dinamis dan terus menerus, yang menyatukan pemerintah dan masyarakat, kepentingan sektor dan publik. Jenis masalah pengelolaan dapat berupa pengendalian erosi pantai, perancangan perubahan pantai dan peraturan yang digunakan untuk pengendalian struktur untuk erosi yang sangat kuat yang ada di Pantai. Untuk menyukseskan usaha-usaha di atas maka diperlukan kajian dan penelitian terkait masalah ini.  kajian dan penelitian ini penting untuk memperoleh data-data yang relevan.  Data dan informasi yang dibutuhkan seperti data sifat-sifat pantai (ukuran butir, pemilahan, lereng, profil) pada transportasi pasir disepanjang pantai, pada tambang gelombang akibat iklim terhadap garis pantai, maupun frekuensi dan intensitas badai. Jika ini berjalan baik maka langkah pencegahan dapat dilakukan dan membangun sistem pengendalian abrasi yang terpadu yang tentu saja tanpa korupsi di dalamnya.

Berikut gambar kondisi terakhir pantai Pabiringa Kab. Jeneponto yang diambil pada awal Juli 2012







Thursday, July 5, 2012

MASALAH SAMPAH KOTA MAKASSAR


Akhir-akhir ini sampah di Kota makassar menjadi masalah yang semakin serius. Bayangkan saja sampah di Kota Daeng ini bertebaran di mana-mana. Bahkan di tempat umum maupun di sepanjang jalan raya sampah bertebaran di mana-mana. Walaupun telah disediakan tempat sampah di hampir seluruh sudut-sudut kota tetapi tetap saja masalah sampah ini belum teratasi. Dari sudut pandang penulis, ada beberapa faktor yang menjadi penyebab masalah sampah di kota ini.

Yang pertama, status kota Makassar sebagai kota metropolitan yang tidak hanya di Kawasan Indonesia Timur tetapi juga di Kawasan Indonesia keseluruhan mendorong terjadinya arus mobilitasasi penduduk ke Kota Makassar. Ini mengakibatkan kepadatan penduduk Kota Makassar bertambah dari tahun ke tahun. Jumlah penduduk ini berkorelasi langsung terhadap sampah yang dihasilkan. Semakin tinggi jumlah penduduk suatu daerah maka sampah yang dihasilkan juga semakin banyak. Selain itu, kesejahteraan penduduk di suatu daerah dapat dilihat dari sampah yang dihasilkan. Parahnya lagi, peningkatan penduduk ini tidak dibarengi dengan kesadaran masyarakat akan pentingnya pengendalian sampah “buanglah sampah pada tempatnya”.
Foto 1. Pencemaran sampah yang Mengganggu Estetika Kota di Kawasan Pantai Losari

Yang kedua, Kinerja Dinas terkait yang menangani masalah sampah belum maksimal. Ketidakmaksimalan ini menurut penulis disebabkan oleh armada yang masih sangat-sangat terbatas, petugas sampah yang masih minim, dan ketidakseimbangan antara jumlah tempat sampah yang tersedia dan banyaknya sampah yang dihasilkan oleh masyarakat. Kendala ini bisa saja ditaktisi dengan melakukan kerja ekstra. Tetapi masalah yang muncul kemudian sampah yang harusnya dipindahkan dari tempat sampah ke TPA pada malam hari, dikerjakan pada siang hari itu akan berdampak pada masyarakat sendiri. Truk sampah yang beroperasi pada siang hari dapat mengganggu masyarakat sebagai pengguna jalan. Dari segi estetika ini juga tidak elok untuk dikerjakan karena bau tak sedap yang dihasilkan sampah itu dapat menjalar kemana-mana.
Dampak lain yang ditimbulkan dari masalah sampah ini tidak hanya dari segi lingkungan seperti mengganggu estetika kota, banjir, pendangkalan sungai tetapi juga aspek sosial masyarakat. Masyarakat kota yang cenderung bersikap egoistis, jangankan mau berbagi materi, tempat sampah pun enggan untuk berbagi. Untuk  itu, masalah-masalah seperti ini perlu mendapat perhatian oleh seluruh masyarakat karena masalah sampah bukan masalah orang per orang tetapi masalah kita semua.
Foto 2. Kondisi Salah Satu Tempat Sampah di Kota Makassar

Untuk mengatasi masalah ini perlu dilakukan kerja sama yang baik dari berbagai instansi/lembaga yang kompeten.  Seperti yang telah dilakukan oleh TNI yang mengadakan bakti sosial tiap tahunnya untuk membersihkan kanal-kanal di Kota Makassar dari sampah-sampah. Dari Pemkot Makassar sendiri selain menambah tempat sampah perlu juga dilakukan sosialisasi “membuang sampah pada tempatnya”. Karena penambahan fasilitas tanpa dibarengi dengan kesadaran masyarakat akan membuat usaha-usaha yang dilakukan menjadi percuma. Bagi masyarakat sendiri, marilah kita menjaga keindahan kota kita yang tercinta ini dengan membuang sampah pada tempatnya. Kalau bukan kita siapa lagi, kalau bukan sekarang kapan lagi. “ORANG CERDAS MEMBUANG SAMPAH PADA TEMPATNYA”. 

Wednesday, June 6, 2012

Menentukan Daerah Rawan Longsor di Kec. Sinjai Barat dengan Menggunakan Metode Analytical Hierarchy Process (AHP)


Kabupaten Sinjai merupakan salah satu daerah langganan longsor terkhusus di kecamatan Sinjai Barat. Secara administratif termasuk dalam wilayah Kabupaten Sinjai.
Gambar 1. Peta Administratif Kec. Sinjai barat Kab. Sinjai
 Dalam memitigasi bencana tersebut perlu dilakukan pemetaan dan penentuan daerah rawan longsor. Dalam menentukan daerah rawan longsor tersebut dapat digunakan beberapa kriteria seperti faktor geologi, faktor curah hujan, faktor kondisi topografi dan faktor tutupan lahan. Dimana pada setiap faktor-faktor yang mempengaruhi tanah longsor di atas mengandung beberapa parameter. Ini akan mengakibatkan dalam penarikan keputusan  daerah mana yang rawan longsor sulit dilakukan.
Salah satu metode yang dapat diterapkan adalah Analytical Hierarchy Process (AHP). Metode AHP membantu untuk melakukan analisis secara sistematik dengan mengelompokkannya ke dalam struktur hirarkhi (Hetherina, 2009). Metode AHP ini dapat dikerjakan dengan menggunakan program Expert Choise 11.
Dalam tulisan ini akan dipaparkan penerapan AHP dengan menggunakan program Expert Choise 11 yang dikombinasikan dengan program ArcGIS 9.3 dalam menentukan daerah rawan longsor di daaerah Sinjai Barat, Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan.
Dalam menentukan daerah rawan longsor, ada beberapa kriteria yang digunakan. Kriteria tersebut merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya longsor. Dalam tulisan ini ada empat kriteria yang digunakan yaitu faktor geologi dalam bentuk peta geologi daerah Sinjai Barat, faktor tutupan lahan berupa peta tutupan lahan Sinjai Barat dan sekitarnya, faktor curah hujan dalam bentuk peta curah hujan daerah Sinjai Barat dan faktor topografi yang disajikan dalam bentuk peta topografi yang diambil dari citra SRTM. Seluruh peta yang digunakan dalam tulisan ini dikerjakan dengan menggunakan program ArcGIS 9.3.
Dalam menentukan bobot dari kriteria daerah rawan longsor digunakan program Expert Choise 11 yang menggunakan teknik perbandingan pairwise. Hasil pembobotan dengan menggunakan Expert Choise dapat dilihat pada gambar dibawah ini. 
                
Gambar 2. Pembobotan Kriteria yang digunakan dalam memetakan daerah rawan longsor dengan menggunakan program Expert Choise 11

Dari hasil di atas memperlihatkan bahwa faktor geologi memiliki bobot 0,513; curah hujan 0,275; topografi 0,138 dan tutupan lahan 0,074. 
  1. Faktor Geologi
Dalam faktor geologi ini memiliki empat kriteria turunan yakni formasi batuan yang menyusun daerah tersebut. Berdasarkan peta geologi daerah Sinjai Barat (lampiran 2) terlihat bahwa daerah tersebut memili empat formasi batuan yang dominan yakni batuan gunung api Formasi Camba (Tmcv), batuan gunung api Baturape-Cindako (Tpbv), batuan gunung api Lompobatang (Qlv) dan granodiorit. 
Gambar 3. Peta geologi Kec. Sinjai barat

Dari hasil pembobotan dengan menggunakan program Expert Choise 11 diperoleh formasi Lompobatang memperoleh bobot tertinggi (0,513), Formasi Camba (0,275), Formasi Baturape-Cindako (0,138) dan batuan granodiorit (0,074).

Gambar 4. Pembobotan Kriteria Turunan Faktor geologi dengan menggunakan program Expert Choise 11

2. Faktor Curah Hujan
Dalam faktor curah hujan ini digunakan kriteria turunan yaitu curah hujan tinggi, menengah (sedang) dan rendah. Peta yang digunakan bersumber dari peta distribusi curah hujan daerah Sulawesi Selatan tahun 2012 yang dikeluarkan oleh BMKG. 
Gambar 5. Peta Distribusi Curah Hujan Kec. Sinjai Barat

Dari hasil pembobotan diperoleh curah hujan tinggi memiliki bobot 0,571; curah hujan sedang (0,286); dan curah hujan rendah (0,143).

                   
Gambar 6. Pembobotan Kriteria Turunan Faktor Curah Hujan dengan menggunakan program Exsper Choise 11

3. Faktor Topografi
Data topografi yang digunakan merupakan data hasil ekspor citra SRTM. Data topografi ini kemudian dilakukan analisis spasial untuk mendapatkan peta reclacify topografi dengan menggunakan program ArcGIS 9.3. Hasil dari reclacify ini menghasilkan kriteria turunan berupa daerah perbukitan, perbukitan tinggi dan pegunungan.
Gambar 7. Peta Klasifikasi Topografi Kec. Sinjai Barat


Dari hasil pembobotan dengan menggunakan program Expert Choise 11 diperoleh daerah dengan topografi pegunungan memperoleh bobot tertinggi (0,55), Perbukitan tinggi (0,24), dan perbukitan (0,21).
                              
Gambar 8. Pembobotan Kriteria Turunan Faktor Topografi dengan menggunakan program Expert Choise 11

4. Faktor Tutupan Lahan

Data tutupan lahan yang digunakan bersumber dari peta tutupan lahan Kabupaten Sinjai dan Sekitarnya tahun 2005. Dari peta tersebut diketahui bahwa tutupan lahan daerah Sinjai Barat adalah semak belukar, hutan tanaman, pertanian lahan kering, pemukiman, hutan primer, dan sawah. Tutupan lahan tersebut di atas kemudian dijadikan kriteria turunan faktor tutupan lahan


Gambar 9. Peta Tutupan Lahan Kec. Sinjai Barat



Gambar 10. Pembobotan Kriteria Turunan Faktor Tutupan Lahan dengan menggunakan program Expert Choise 11

Dari pembobotan di atas diperoleh bahwa kriteria turunan tutupan lahan daerah Sinjai Barat  semak belukar memperoleh bobot tertinggi (0,382), hutan tanaman (0.25), pertanian lahan kering (0.16), pemukiman (0.101, hutan primer (0.064), dan sawah (0.043).
Daerah yang dipilih sebagai alternatif adalah daerah yang memiliki potensi longsor yaitu Kasuarang, Balakian, Kel. Tassililu (Manipi), Rumpala dan Arabika. Kelima daerah ini diberi bobot yang sama yakni masing-masing 0.2.
Gambar 11. Peta Alternatif Daerah rawan longsor 

Struktur Hirarki
Gambar 12. Struktur Hirarki penentuan daerah rawan longsor di Kec. Sinjai Barat.

Hasil rekapitulasi bobot pada struktur hirarki di atas dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Dari tabel di atas disajikan dalam bentuk grafik.


Dari grafik tersebut terlihat bahwa skor tertinggi diperoleh alternatif Balakiang (4,627), diikuti oleh alternatif Arabika (4,309), Rumpala dan kasuarang yang masing-masing 3,927 dan terakhir Tassililu (3.58). Ini menunjukkan bahwa daerah Balakiang merupakan daerah yang paling rawan terjadinya longsor. Kerawanan ini didukung oleh kondisi tutupan lahan yang berupa semak belukar, hutan tanaman, hutan primer dan hutan lahan kering ditambah kondisi topografi yang berupa berbukitan tinggi dan pegunungan.
Hasil penentuan daerah rawan longsor tersebut kemudian diplot ke dalam peta alternatif daerah longsor di Kec. Sinjai barat dengan menggunakan program ArcGIS 9.3. Output yang dihasilkan berupa peta kerawanan longsor di Kec. Sinjai Barat, Kabupaten Sinjai

             









Wednesday, May 30, 2012

Mengolah Data Citra SRTM dari Global Mapper

Pada bagian sebelumnya telah diuraikan bagaimana memperoleh data citra SRTM dari global Mapper. Pada bagian ini akan di uraikan pengolahan citra tersebut dengan menggunakan aplikasi pengolah data DEM yang lain seperti Surfer 10 dan ArcGis 9.3 sampai kepada hasil akhirnya berupa peta topografi. 
Kali ini citra SRTM yang kita gunakan adalah Citra SRTM daerah Pangkajene, Kab. Sidrap Sulsel yang diduga sebagai kaldera purba. Citra SRTM daerah Pangkajene dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
langkah selanjutnya dilakukan ekspor data ke dalam bentuk data vektor ekstensi XYZ (*.xyz) dan lain - lain agar dapat diolah dengan menggunakan aplikasi lain. Jika ekspornya sukses maka bentuk datanya seperti gambar di bawah.
 Dari data di atas kita membuat "image map" dengan menggunakan aplikasi surfer 10. Pada proses griddingnya digunakan metode kriging. Metode griding yang tersedia banyak sehingga kita dapat memilih metode yang mana yang memberikan hasil yang sesuai dengan keadaan real di lapangan. Hasil "image map" dengan menggunakan aplikasi Surfer 10 dapat diliat pada gambar di bawah.
Kita juga dapat membuat tampilan "3D surface" dengan menggunakan aplikasi surfer 10. Dibawah ini perbandingan gambar 3D dengan menggunakan aplikasi global mapper ver. 11 (atas) dan dengan menggunakan aplikasi Surfer 10 (bawah).

Dengan menggunakan aplikasi ArcGis 9.3 kita akan melakaukan interpolasi dari vektor di atas dengan metode "Inverse distance Weighted". Dengan menggunakan fasilitas "Spatial Analyst" untuk melakukan analisis permukaan (Surface Analyst). Hasilnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini

Selanjutnya kita melakukan klasifikasi morfografi berdasarkan Van Zuidam (1985). Di sini kita menggunakan analisis permukaan "reclasify" yang dioverlaykan dengan "contour".  Hasilnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Jika kita menginginkan tampilan yang berbeda, kita juga dapat memanfaatkan fasilitas "3D Surface" milik ArcGis untuk membuat "Tin". 

Sekian, semoga bermanfaat...!!!
Selamat mencoba...!!!
(dipresentasekan pada mata kuliah "Sistem Informasi Geologi", Rabu 30 Mei 2012 di ruang seminar Jurusan Geologi,Universitas Hasanuddin) 

Tuesday, May 8, 2012

Pemanfaatan Citra SRTM dalam Pemetaan Topografi

SRTM (Shuttle Radar Topography Mission) merupakan citra yang saat ini banyak digunakan untuk melihat secara cepat bentuk permukaan. SRTM adalah data elevasi resolusi tinggi merepresentasikan topografi bumi dengan cakupan global (80% luasan dunia). Data SRTM adalah data elevasi muka bumi yang dihasilkan dari satelit yang diluncurkan NASA (National Aeronautics and Space Administration). Data ini dapat digunakan untuk melengkapi informasi ketinggian dari produk peta 2D, seperti kontur, profil. Ketelitian bisa mencapai 15 m dan berguna untuk pemetaan skala menengah sampai dengan skala tinggi (Lili Somantri).

Alasan menggunakan SRTM dalam GIS tentu karena kelebihannya. Beberapa kelebihan citra SRTM diantarannya :
1. Gratis; ini adalah kelebihan utama yang dimiliki.
2. Digital; SRTM dapat didownload secara digital melalui aplikasi Global Mapper.
3. Resolusi; resolusi lumayan tinggi untuk skala tinjau. resolusi horizontal adalah 90 m.

SRTM memiliki struktur  data yang sama seperti format Grid lainnya, yaitu terdiri dari sel-sel yang setiap sel  memiliki wakil nilai ketinggian. Nilai ketinggian pada SRTM adalah nilai ketinggian dari datum WGS1984, bukan dari permukaan laut, tapi karena datum WGS1984 hampir berimpit dengan permukaan laut maka untuk skala tinjau dapat diabaikan perbedaan di antara keduanya.

Berikut akan disajikan pemanfaatannya dalam pemetaan topogafi daerah gunung lompobattang dengan menggunakan aplikasi global mapper. Langkah pertama, pastikan dalam PC atau notebook sudah terinstal aplikasi global mapper dan tersambung internet (Online). Jika global mapper sudah terinstal di PC atau Notebook Anda, silahkan buka aplikasi tersebut sehingga muncul tampilan awal di bawah ini. 


Pilih (klik) tab "Download Free Maps/Imagery from Online Sources" (ditengah), sehingga muncul tampilan berikut.

Pada jendela "select online Data Source to Download" terdapat kotak "select data source". Dalam kotak tersebut pilih "SRTM worldwide Elevation data". Kemudian pada bagian bawah klik tab "Specify latitude/longitude bounds of area". Masukkan koordinat daerah yang akan dipetakan misalnya daerah gunung Lompobattang dengan koordinat bisa dilihat pada gambar di atas. Kemudian Klik "OK", selanjutnya proses download akan berlangsung. Jika download berhasil akan muncul tampilan berikut


Kita juga dapat mengekstrak kontur berdasarkan citra di atas. Pilih "File/generate contour" seperti pada gambar berikut.


Kemudian akan muncul jendela "Contour Generation Options". Pada jendela ini, isikan interval kontur sesuai dengan keinginan Anda (Disarankan inteval kontur sesuaikan dengan skala peta Anda). kemudian klik "OK"

                               

Jika prosesnya berjalan lancar, tampilan berikut akan Anda dapatkan.

 Anda dapat melakukan Overlay antara Citra SRTM dengan konturnya dengan melakukan pengaturan pada submenu "Overlay Control Centre".

Selamat Mencoba..........!!!








Monday, April 16, 2012

Kondisi Geologi DAS Kelara, Kab. Jeneponto

Berbicara tentang geologi tidak terlepas dari masalah keadaan tanah dan batuan. Tanah merupakan bahan hasil pelapukan batuan. Karakteristik tanah dan sebaran jenisnya dalam DAS sangat menentukan besarnya infiltrasi limpasan permukaan (overland flow) dan aliran bawah permukaan (subsurface flow).
Jenis tanah yang dominan di kabupaten ini adalah Alluvial, Gromosal, Mediteren, Lotosal, Andosil dan Regonal. Sesuai dengan kondisi iklim, topografi dan jenis tanah tersebut, Kabupaten Jeneponto memproduksi padi di areal persawahan (tadah hujan) dan tegalan atau ladang. Beberapa tanaman palawija yang dihasilkan di tanah tegalan antara lain seperti Jagung, Ubi Jalar, Ubi Kayu (singkong), Kacang Tanah, Kacang Kedele, dan Kacang Hijau.
Berdasarkan peta geologi lembar ujung Pandang (Rab Sukamto, 1982) maka batuan penyusun DAS Kelara terdapat enam jenis formasi batuan. Di bagian utara DAS terdiri dari batuan basal dan batuan vulkanik tersier. Daerah ini adalah kaki gunung Lompobattang yang merupakan hulu sungai Kelara. Di bagian tengah DAS didominasi oleh batuan gunung api Baturape-Cindak dan formasi batuan Salokalupang. Batuan Vulkanik yang berumur kuarter dan batuan sedimen yang juga berumur kuarter tersebar di bagian tengah dan di sebelah selatan DAS yang merupakan daerah hilir sungai.
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedalda) Pemprov, telah menetapkan lima kabupaten yang dua diantaranya masuk dalam wilayah DAS Kelara yakni Kabupaten Jeneponto dan Bantaeng masih rawan longsor. Kabupaten Jeneponto bahaya longsor ditemukan pada kecamatan Kelara. Terkait masalah longsor, ada beberapa yang harus diwaspadai di dua kabupaten tersebut, antara lain, gerakan tanah, batuan, curah hujan, kelerengan, tutupan lahan,dan patahan (Amriani,2008).
Bencana gerakan tanah longsor dan retakan tanah yang terjadi di daerah tersebut disebabkan beberapa faktor diantaranya, batuan membentuk lereng berupa klastika kasar gunung api yang berdiri dari breksi, konglomerat dan tufa. Batuan tufa yang telah lapuk menjadi lempung pasiran hingga pasir lempungan berwarna abu-abu, mengandung kerikil, bersifat porous dengan ketebalan tiga sampai empat meter dan dibagian bawahnya berupa tufa yang dapat menjadi bidang gelincir gerakan tanah. Penyebab utama terjadi bencana gerakan tanah adalah konstruksi alami lapis luar pegunungan itu yang memang rapuh, sebagaimana diungkapkan di atas. Struktur geologis dan geomorfologis strato-vulkanic Lompobattang itulah yang diharapkan untuk dipertimbangkan sebagai penyebab utama. Karena jika tidak demikian, maka solusi yang ditawarkan oleh para pemegang kekuasaan/penentu kebijakan untuk mengantisipasi bencana berikutnya mungkin hanyalah tertuju pada masalah penggundulan hutan.

Saturday, April 14, 2012

Subsistem Hidrologi DAS Kelara, Kab. Jeneponto

Aliran sungai lebih ditentukan oleh tingkat curah hujan daripada oleh proses hidrologi lainnya yang dipengaruhi oleh DAS. Aspek utama yang termasuk dalam aliran sungai adalah total hasil air tahunan, keteraturan aliran, frekuensi terjadinya banjir pada lahan basah, dataran aluvial dan ketersediaan air pada musim kemarau (Noordwijk dkk, 2004). Untuk menjaga aspek ini dapat dilakukan dengan memelihara tutupan lahan oleh pohon dengan segala bentuknya berupa hutan alami atau pohon yang dibudidayakan dan lain sebagainya.
Pengaruh tutupan pohon terhadap aliran air dalam bentuk (Noordwijk dkk, 2004):
1. Intersepsi air hujan. Selama hujan, tajuk pohon dapat mengintersepsi dan menyimpan sejumlah air hujan dalam bentuk lapisan tipis air (waterfilm) pada permukaan daun dan batang yang selanjutnya akan mengalami evaporasi sebelum jatuh ke tanah.
2. Daya pukul air hujan. Vegetasi dan lapisan seresah melindungi permukaan tanah dari pukulan langsung tetesan air hujan yang dapat menghancurkan agregat tanah, sehingga terjadi pemadatan tanah. Hancuran partikel tanah akan menyebabkan penyumbatan pori tanah makro sehingga menghambat infiltrasi air tanah, akibatnya limpasan permukaan akan meningkat.
3. Infiltrasi air. Proses infiltrasi tergantung pada struktur tanah pada lapisan permukaan dan berbagai lapisan dalam profil tanah. Struktur tanah juga dipengaruhi oleh aktivitas biota yang sumber energinya tergantung kepada bahan organik (seresah di permukaan, eksudasi organik oleh akar,dan akar-akar yang mati).
4. Serapan air. Faktor–faktor yang mempengaruhi jumlah serapan air oleh pohon adalah fenologi pohon, distribusi akar dan respon fisiologi pohon terhadap cekaman parsial air tersedia.
5. Drainase lansekap. Besarnya drainase suatu lansekap (bentang lahan) dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kekasaran permukaan tanah, relief permukaan tanah yang memungkinkan air tinggal di permukaan tanah lebih lama sehingga mendorong terjadinya infiltrasi, tipe saluran yang terbentuk akibat aliran permukaan yang dapat memicu terjadinya aliran cepat air tanah (quick flow).
Karakteristik fisik DAS merupakan variabel dasar yang menentukan proses hidrologi pada DAS seperti terrain dan geomorfologi, pola pengaliran dan penyimpanan air sementara pada DAS, dapat membantu mengidentifikasi daerah yang memiliki kerentanan tinggi terhadap terjadinya persoalan DAS, serta perancangan teknik-teknik pengendalian yang sesuai dengan kondisi setempat.
Pola pengaliran dan penyimpanan air dalam DAS sangat dipengaruhi oleh karakteristik tanah, bahan induk (geologi), morfometri DAS dan penggunaan lahan. Karakteristik ini menentukan banyaknya air hujan yang dialirkan atau tertahan, kecepatan aliran, dan waktu tempuh air dari tempat terjauh sampai dengan outlet (waktu konsentrasi) yang berpengaruh pada kejadian banjir, baik banjir yang berbentuk genangan (inundasi) maupun banjir bandang pada DAS tersebut.
Kecamatan Kelara, terdapat potensi sumber air yang sebenarnya tersedia cukup melimpah untuk memasok keperluan pengairan dan kebutuhan air minum. Di wilayah DAS ini termasuk ke dalam salah satu cekungan air tanah yaitu cekungan air tanah Bantaeng yang meliputi hampir semua wilayah DAS Kelara. Beberapa kecamatan lain seperti Kecamatan Binamu, Bangkala dan Bangkala Barat terdapat alur sungai yang cukup besar dengan debit air memadai. Keberadaan sumberdaya air ini baru mulai dimanfaatkan pada periode tahun 1990-an khususnya untuk pasokan air minum di ibukota kabupaten. Akan tetapi di beberapa kecamatan lain yang letaknya diatas 100 m dari permukaan laut, pasokan air menjadi semakin sulit dan langka, sebagai akibat belum terbangunnya jaringan sekunder dan tersier keseluruh wilayah. Keberadaan tiga buah bendungan di sekitar wilayah Kecamatan Kelara sampai saat ini belum berarti banyak baik untuk keperluan pengairan maupun untuk memutar turbin listrik.
Ada beberapa kriteria dari fungsi DAS yang berhubungan dengan karakteristik lokasi dan aliran sungai, relevansinya dengan multi pihak yang tinggal di daerah hilir serta beberapa indikatornya. Karakteristik alami diantaranya curah hujan, jenis tanah, akar vegetasi alami sebagai jangkar tanah. Kriteria yang dijadikan patokan ditinjau dari segi transmisi air, pelepasan air secara bertahap, memelihara kualitas air, mengurangi longsor.
Sedangkan relevansi dengan pengguna dan pihak terkait lainnya Semua pengguna air, terutama masyarakat yang berada di daerah hilir adalah masyarakat yang tidak memiliki sistem penyimpanan air untuk ketersediaan air pada musim kemarau (water reservoir : misalnya danau, waduk, embung atau tandon air), masyarakat yang tidak memiliki sistem purifikasi, petani dan nelayan, masyarakat yang tinggal di kaki bukit yang berpotensi tinggi terjadi (tertimpa) aliran lumpur, banjir dan tanah longsor PLTA, sehubungan dengan umur paruh waduk. Ini dilihat dari indikator hasil air per curah hujan tahunan, Ketersediaan air selama musim kemarau, ketersediaan air bersih sepanjang waktu keberadaan jenis ikan tertentu, intensitas kejadian longsor biodiversitas dan bioindikator (adanya bentos, nimfa bangsa plekoptera dan lain-lain).
Salah satu faktor terpenting penyebab terganggunya fungsi hidrologi di kawasan DAS Kelara yang berujung terjadinya bencana alam adalah aktifitas manusia yang terus maningkat. Penebangan hutan ilegal, perambahan hutan untuk dijadikan kawasan perkebunan, penggunaan lahan untuk berbagai kepentingan yang tidak menerapkan kaidah konservasi tanah dan air atau yang melebihi daya dukungnya serta lemahnya penegakan hukum terhadap para pelanggar peraturan perundangan. Di samping itu, banyaknya perambahan kawasan hutan dan konservasi daerah resapan air di daerah hulu DAS menjadi perkebunan, yang menyebabkan kapasitas infiltrasi air hujan sangat menurun dan aliran air permukaan meningkat dengan drastis.
Langkah-langkah yang telah dilakukan pemerintah untuk melestarikan kembali hutan yang rusak. Dengan mengadakan penghijauan, dan penanaman pohon serta mencegah timbulnya pembalakan liar. Departemen kehutanan telah melakukan tata guna hutan, dimana kawasan hutan ditata dalam tiga fungsi utama yaitu hutan produksi, hutan lindung dan hutan konservasi. Pembagiannya ditentukan berdasarkan faktor curah hujan tahunan, jenis tanah dan kemiringan lereng. Sementara Kondisi alami seperti keadaan geologi, tanah, topografi dan curah hujan yang tinggi dibanyak DAS sangat rawan untuk terjadi tanah longsor dan banjir.

Friday, April 13, 2012

Masalah Sedimentasi DAS Kelara, Kab. Jeneponto

Sedimentasi adalah suatu proses pengendapan material yang ditranspor oleh media air, angin, es/gletser di suatu cekungan (Djauhari Noor, 2011). Akhir-akhir ini, persoalan seperti erosi, sedimentasi, longsor dan banjir pada DAS intensitasnya semakin meningkat. Persoalan-persoalan tersebut merupakan bentuk respon negatif dari komponen-komponen DAS terhadap kondisi curah hujan. Kuat atau lemahnya respon sangat dipengaruhi oleh karakteristik DAS baik secara fisik, maupun sosial ekonomi serta budaya masyarakatnya.

Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, kerusakan hutan telah menjadi masalah serius di kawasan DAS. Hal ini tentu akan menyebabkan erosi, sedimentasi di sungai, waduk dan danau serta peningkatan peningkatan debit air sungai yang menyebabkan banjir di daerah tengah dan hilir DAS seperti yang terjadi di Waduk Kelara. Waduk tersebut telah menjadi salah satu sarana irigasi, kini kondisinya tidak kalah memprihatinkannya akibat sedimentasi. Pada musim penghujan saja, debit air di Waduk Kelara hanya satu meter dari kedalaman waduk yang mencapai 10 meter (Media Indonesia.com, edisi 13/02/2012)

Menurut Hallaf yang dikutip dari WALHI Sulsel, selama ini, solusi pemerintah hanya tertuju pada masalah penggundulan hutan. Penggundulan hutan hanyalah sebahagian dari faktor penyebab tanah berlumpur dan batu-batu longsor, ditambahkan dengan jumlah curah hujan yang tinggi di lereng Lompobattang. Fakta membuktikan sejarah geologi/geomorfologi sebuah bentang alam yang telah terjadi pada perjalanan hidup waduk Kelara di Jeneponto. Sama seperti yang di alami oleh waduk Bili-Bili, ada dua fakta yang mengancam waduk Kelara yakni erosi dan longsor. Air sungai Kelara tidak akan pernah berhenti mengalir, mengerosi lapisan-lapisan tanah dan bebatuan di lereng Pegunungan Lompobattang. Luas DAS Kelara yang menjadi penadah air hujan (catchment area) bagi waduk Kelara tidak akan bisa menampung laju erosi yang ada. Air hujan yang mengalir di permukaan tanah itu kemudian berkumpul dan berkonsentrasi pada alur-alur anak sungai.

"Ini kerja alam, jangan hanya melihat curah hujan. Tapi kita harus melihat gravitasi. Dia akan berhenti kalau gunung ini sudah rata" (Abd. Hallaf Hanafie Prasad).

Kondisi muara sungai Kelara yang dipenuhi sedimen (bawah), dan endapan lumpur yang sudah bervegetasi (atas). (Sumber : Aryadi Nurfalaq, diambil 28 Maret 2012)

Masalah lain juga terjadi di daerah muara sungai Kelara. Akibat sedimentasi ini, muara sungai mengalami pendangkalan sehingga tidak dapat lalui oleh perahu nelayan (foto 2). Ini berdampak pada produktifitas petani dalam mencari tangkapan ikan. Efeknya masyarakat sekitar dalam mengkonsumsi hasil tangkapan ikan menjadi terbatas.

Friday, March 30, 2012

KONTRAK KARYA

AYAT 3 PASAL 33 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan:

"Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan
dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat".

Bersumber dari amanat Undang-Undang Dasar 1945 yang sakral itulah semua peraturan tentang pertambangan diderivaksikan. Secara bijaksana pula Pemerintah membuat penafsiran, bahwa “menguasai” tidaklah identik dengan “memiliki”. Penafsiran ini merupakan landasan penciptaan peraturan-peraturan di bidang usaha pertambangan Indonesia. Dalam sebuah diskusi di Sekretariat Negara sekitar sepuluh tahun yang alu, Pemerintah bertekad untuk mengurangi kesan (down tone) kepemilikan, dan sebaliknya mencuatkan kepentingan pemasukan negara, kesempatan kerja, dan mengurangi kesenjangan dengan memakai aset yang dikuasai Negara.

Hasil tambang yang pertama kali diatur oleh Pemerintah adalah minyak bumi. Pada dasarnya, Pemerintah menerapkan konsep production sharing dalam pengelolaan sumberdaya minyak bumi Indonesia dengan kontraktor-kontraktor asing. Kurangnya pengalaman Pemerintah pada waktu itu dalam menangani kontrak-kontrak yang melibatkan perusahaan besar dari mancanegara, membuat Pemerintah memperlakukannya dengan penuh kewaspadaan. Salah satu hal yang dianggap “menakutkan” bagi pemerintah pada waktu itu adalah munculnya kekuatan tujuh perusahaan minyak raksasa yang dikenal dengan sebutan “The Seven Sisters”. Pada satu titik, “The Seven Sisters” ini, baik secara sendiri-sendir maupun beraliansi, bisa saja
mendikte Pemerintah dengan usulkan klausal-klausal perjanjian yang menguntungkan
mereka.

Untuk mencegah kemungkinan itu, Pemerintah menerapkan strategi merangkul perussahaan-perusahaan ekplorasi perminyakan berskala kecil (junior companies) untuk beroperasi di Indonesia. Asamera, misalnya, adalah salah satu perusahaan ekplorasi minyak pertama yang oleh Ibnu Sutowo, Direktur Utama Pertamina pada masa itu, diberi kontrak untuk melakukan eksplorasi di Indonesia. Asamera berhasil dan hingga kini masih eksis, bahkan telah men-transformasi-kan dirinya menjadi perusahaan minyak yang andal, tidak lagi sekadar yunior. Contoh perusahaan yang semula kecil dan kini telah berhasil di bidang perminyakan Indonesia adalah IIAPCO.

Kontrak pertambangan berdasarkan production sharaing itu hanya berlaku bagi komoditi minyak dan gas bumi, serta batubara. Batubara dimasukkan dalam klasifikasi yang sama karena fungsinya sebaga sumber energi. Untuk jenis-jenis mineral lain, berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan, Pemerintah menerapkan sistem Kuasa Pertambangan (KP, hanya untuk pengusaha nasional),Dan Kontrak Karya (KK, hanya untuk perusahaan asing). Lahirnya Undang-Undang Pertambangan itu juga memberikan landasan yang lebih mantap bagi peningkatan operasi penambangan mineral. Pada 1952, misalnya, telah berakhir masa konsesi bagi perusahaan-perusahaan pertambangan Belanda yang melakukan penambangan timah di pulau-pulau Bangka, Belitung, dan Singkep. Sebelum lahirnya Undang-Undang Pertambangan, perusahaan tambang timah negara itu nyaris beroperasi di atas aturan-
aturan yang ad hoc, antara lain dengan Perpu 37.

Pembedaan sistem itu sebetulnya sangat berlandasan. Penambangan mineral jauh lebih tinggi risikonya dibandingkan penambangan minyak dan gas bumi. Perusahaan minyak, misalnya, cukup mengebor dua lubang – di Indonesia pada kedalaman 600-2000 meter, di tempat-tempat lain bisa sampai 3000 meter – dengan biaya sekitar AS$4 juta per lubang, untuk bisa memutuskan apakah terdapat cebakan ekonomis di kawasan itu. “Bahkan, bila tajam analisis seismiknya untuk menemukan oil trap atau gas trap di dalam perut bumi, dengan satu lubang pun sudah ketemu,” kata B.M.W. Siagian, seorang geolog kawakan yang kini memimpin PT Timah Investasi Mineral.

Perusahaan tambang mineral, sebaliknya, harus melakukan pengeboran sebanyak ratusan lubang sebelum bisa menarik kesimpulan tentang adanya cebakan ekonomis. Biaya pengeboran rata-rata mencapai AS$100 per meter, atau sekitar AS$25,000 per lubang. “Tergantung jenis batuan di mana mineralisasi ditemukan. Bisa mahal, bisa kurang mahal,” kata Siagian.

Perbedaan utama antara KPS (Kontrak Production Sharing) dan KK (Kontrak Karya) adalah bahwa KPS manajemen seluruh kontraktor asing ditengani oleh Indonesia, dalam hal ini Pertamina. Setiap perencanaan pengembangan harus disetujui Pemerintah. Untuk produk minyak, Indonesia memperoleh bagian 85%, sedangkan kontraktor memperoleh 15% sebagai upah. Untuk gas bumi, kontraktor memperoleh upah lebih besar, yaitu 30%.

Kuasa pertambangan yang terbanyak dikeluarkan Pemerintah antara tahun 1980 hingga 1987. tetapi, kemudian terbukti hampir tak ada perusahaan nasional penerima KP yang serius melakukan eksplorasi. Kebanyakan malah “memperjual-belikan” KP itu untuk keuntungan kilat. Sejak 1987 Pemerintah mulai selektif dalam pemberian Kuasa Pertambangan.

Pada prinsipnya Kontrak karya memberi jaminan hak untuk menambang bagi kontraktor yang berhasil menemukan cebakan mineral yang ekonomis. Prinsip yang kedua adalah apa yang dikenal di kalangan hukum sebagai lex specialis, yaitu bahwa ketentuan-ketentuan di dalam Kontrak Karya itu tidak akan berubah selama masa berlakunya kontrak. Sekalipun aturan lex specialis ini juga berpotensi merugikan, tetapi ada garis besarnya ia justru memberikan tingkat keyakinan yang lebih tinggi. Kontrak Karya merupakan sebuah conjunctive title (hak yang sifatnya berkelanjutan dan menyeluruh), mulai dari eksplorasi, eksploitasi, peleburan hingga ke pemasaran.

Kontrak Karya – yang dibedakan pengaturannya dengan Kontrak Production Sharing – sebenarnya juga merupakan semacam pengakuan dari Pemerintah Indonesia terhadap tingkat kesulitan di sektor pertambangan mineral. Pada dasarnya Pemerintah baru mengundang pihak asing bila menganggap bahwa bangsa sendiri tak berani ambil risiko atau tak menguasai teknologinya.

Untuk memperoleh Kontrak Karya, kontraktor harus mengajukan aplikasi yang disertai surat keterangan bonafiditas dari Duta Besar Republik Indonesia di negara asalnya. Kemudian dilakukan perundingan tentang jangka waktu berlakunya Kontrak Karya dengan Pemerintah, dalam hal ini Departemen Keuangan, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Kehutanan. Setelah tahap ini dilalui, rancangan kontrak diajukan kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal dan Dewan Perwakilan Rakyat. Atas rekomendasi DPR dan BKPM, kontrak diajukan kepada Presiden. Persetujuan Presiden diberikan dalam bentuk surat persetujuan yang sekaligus menunjukkan Menteri Pertambangan dan Energi untuk mendatangi Kontrak Karya. Seluruh proses ini sedikitnya memakan waktu satu setengah tahun. Karena waktu tunggu yang sangat panjang inilah Pemerintah biasanya mengeluarkan Izin Prinsip kepada kontraktor, disertai Surat Izin Penelitian Pendahuluan (SIPP) agar kontraktor sudah bisa melakukan berbagai pekerjaan persiapan sambil menunggu keluarnya Kontrak Karya.

Kontrak Karya Generasi I hanya diberikan kepada satu perusahaan, PT Freeport Indonesia Company, pada 1967 untuk memulai penambangan di Ertsberg, Irian Jaya. Hingga pertengahan 1997 Pemerintah telah mengalami daur Kontrak Karya sebanyak enam generasi, masing-masing dengan penyesuaian dan perubahan. Dalam Kontrak Karya Generasi I itu, Freeport diizinkan mengimpor seluruh peralatannya tidak dikenakan penjadwalan nasionalisasi saham, dan dengan masa konsesi 30 tahun.

Kontrak Karya Generasi II yang dikeluarkan antara 1973-1974 kepada 16 perusahaan – antara lain PT Inco yang melakukan penambangan nikel di Soroako, Sulawesi Selatan – telah memuat ketentuan-ketentuan tambahan. Dalam Kontrak Karya Generasi II ini kontraktor diwajibkan menjual 20% sahamnya ke bursa, serta 20% kepada Pemerintah Indonesia, dan dikenakan pajak penghasilan sebesar 30%.

Kontrak Karya Generasi III – pada masa Prof. Dr. Mohamad Sadli menjadi Menteri Pertambangan – semakin berat mengikat. Barangkali itu juga terbukti dari sedikitnya perusahaan yang mengajukan aplikasi dan memperoleh Kontrak Karya. Hanya empat perusahaan yang mendapat Kontrak Karya Generasi III ini antara 1983-1984. Dalam Generasi III ini, sekalipun Pemerintah menghapus keharusan untuk menjual saham ke bursa, tetapi Pemerintah mengharuskan kontraktor asing memberikan 10% saham kepada mitra lokal. Generasi III ini juga mengatur pajak ekspor, di samping kenaikan pajak penghasilan menjadi 35%, sekalipun peraturan perpajakan saat ini hanya menetapkan pajak penghasilan sebesar 30%.

Sepinya peminat pada Kontrak Karya Generasi III itu kabarnya membuat Sadli meminta Redecon (biro riset milik Prof. Dr. Soemitro Djojohadikusumo) melakukan kajian dan usul-usul perbaikan terhadap Kontrak Karya Generasi IV. Pada Kontrak Karya Generasi IV, Pemerintah Melunakkan kembali beberapa aturannya. Pihak asing kembali diizinkan menguasai 100% kepemilikan, namun secara bertahap setelah empat tahun berproduksi harus menyerahkan sebagian sahamnya kepada mitra lokal. Jumlah saham yang dilimpahkan kepada mitra nasional harus mencapai 51% pada usia produksi ke-20 tahun.

Peda Generasi V ditambahkan fasilitas tax holiday, dan pada Generasi VI yang baru dikeluarkan pada 1997 ditambahkan lagi ketentuan tentang Amdal (Analisis Mengenai dampak Lingkungan) serta royalti terhadap emas yang dihasilkan.

Sekalipun setiap generasi Kontrak Karya itu menunjukkan adanya reformasi kecil-kecilan, revisi terhadap Kontrak Karya tidak boleh menghilangkan ruang gerak untuk perundingan, karena pada dasarnya sebuah kontrak adalah kesepakatan antara dua pihak. “Adanya revisi-revisi terhadap beberapa generasi Kontrak Karya itu justru menunjukkan akomodasi Pemerintah terhadap perkembangan ekonomi,” kata Soetaryo Sigit.

(Dikutip dari buku karya Bondan Winarno dengan judul "Bre-X Sebongkah Emas di Kaki Pelangi")