Monday, April 16, 2012

Kondisi Geologi DAS Kelara, Kab. Jeneponto

Berbicara tentang geologi tidak terlepas dari masalah keadaan tanah dan batuan. Tanah merupakan bahan hasil pelapukan batuan. Karakteristik tanah dan sebaran jenisnya dalam DAS sangat menentukan besarnya infiltrasi limpasan permukaan (overland flow) dan aliran bawah permukaan (subsurface flow).
Jenis tanah yang dominan di kabupaten ini adalah Alluvial, Gromosal, Mediteren, Lotosal, Andosil dan Regonal. Sesuai dengan kondisi iklim, topografi dan jenis tanah tersebut, Kabupaten Jeneponto memproduksi padi di areal persawahan (tadah hujan) dan tegalan atau ladang. Beberapa tanaman palawija yang dihasilkan di tanah tegalan antara lain seperti Jagung, Ubi Jalar, Ubi Kayu (singkong), Kacang Tanah, Kacang Kedele, dan Kacang Hijau.
Berdasarkan peta geologi lembar ujung Pandang (Rab Sukamto, 1982) maka batuan penyusun DAS Kelara terdapat enam jenis formasi batuan. Di bagian utara DAS terdiri dari batuan basal dan batuan vulkanik tersier. Daerah ini adalah kaki gunung Lompobattang yang merupakan hulu sungai Kelara. Di bagian tengah DAS didominasi oleh batuan gunung api Baturape-Cindak dan formasi batuan Salokalupang. Batuan Vulkanik yang berumur kuarter dan batuan sedimen yang juga berumur kuarter tersebar di bagian tengah dan di sebelah selatan DAS yang merupakan daerah hilir sungai.
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedalda) Pemprov, telah menetapkan lima kabupaten yang dua diantaranya masuk dalam wilayah DAS Kelara yakni Kabupaten Jeneponto dan Bantaeng masih rawan longsor. Kabupaten Jeneponto bahaya longsor ditemukan pada kecamatan Kelara. Terkait masalah longsor, ada beberapa yang harus diwaspadai di dua kabupaten tersebut, antara lain, gerakan tanah, batuan, curah hujan, kelerengan, tutupan lahan,dan patahan (Amriani,2008).
Bencana gerakan tanah longsor dan retakan tanah yang terjadi di daerah tersebut disebabkan beberapa faktor diantaranya, batuan membentuk lereng berupa klastika kasar gunung api yang berdiri dari breksi, konglomerat dan tufa. Batuan tufa yang telah lapuk menjadi lempung pasiran hingga pasir lempungan berwarna abu-abu, mengandung kerikil, bersifat porous dengan ketebalan tiga sampai empat meter dan dibagian bawahnya berupa tufa yang dapat menjadi bidang gelincir gerakan tanah. Penyebab utama terjadi bencana gerakan tanah adalah konstruksi alami lapis luar pegunungan itu yang memang rapuh, sebagaimana diungkapkan di atas. Struktur geologis dan geomorfologis strato-vulkanic Lompobattang itulah yang diharapkan untuk dipertimbangkan sebagai penyebab utama. Karena jika tidak demikian, maka solusi yang ditawarkan oleh para pemegang kekuasaan/penentu kebijakan untuk mengantisipasi bencana berikutnya mungkin hanyalah tertuju pada masalah penggundulan hutan.

Saturday, April 14, 2012

Subsistem Hidrologi DAS Kelara, Kab. Jeneponto

Aliran sungai lebih ditentukan oleh tingkat curah hujan daripada oleh proses hidrologi lainnya yang dipengaruhi oleh DAS. Aspek utama yang termasuk dalam aliran sungai adalah total hasil air tahunan, keteraturan aliran, frekuensi terjadinya banjir pada lahan basah, dataran aluvial dan ketersediaan air pada musim kemarau (Noordwijk dkk, 2004). Untuk menjaga aspek ini dapat dilakukan dengan memelihara tutupan lahan oleh pohon dengan segala bentuknya berupa hutan alami atau pohon yang dibudidayakan dan lain sebagainya.
Pengaruh tutupan pohon terhadap aliran air dalam bentuk (Noordwijk dkk, 2004):
1. Intersepsi air hujan. Selama hujan, tajuk pohon dapat mengintersepsi dan menyimpan sejumlah air hujan dalam bentuk lapisan tipis air (waterfilm) pada permukaan daun dan batang yang selanjutnya akan mengalami evaporasi sebelum jatuh ke tanah.
2. Daya pukul air hujan. Vegetasi dan lapisan seresah melindungi permukaan tanah dari pukulan langsung tetesan air hujan yang dapat menghancurkan agregat tanah, sehingga terjadi pemadatan tanah. Hancuran partikel tanah akan menyebabkan penyumbatan pori tanah makro sehingga menghambat infiltrasi air tanah, akibatnya limpasan permukaan akan meningkat.
3. Infiltrasi air. Proses infiltrasi tergantung pada struktur tanah pada lapisan permukaan dan berbagai lapisan dalam profil tanah. Struktur tanah juga dipengaruhi oleh aktivitas biota yang sumber energinya tergantung kepada bahan organik (seresah di permukaan, eksudasi organik oleh akar,dan akar-akar yang mati).
4. Serapan air. Faktor–faktor yang mempengaruhi jumlah serapan air oleh pohon adalah fenologi pohon, distribusi akar dan respon fisiologi pohon terhadap cekaman parsial air tersedia.
5. Drainase lansekap. Besarnya drainase suatu lansekap (bentang lahan) dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kekasaran permukaan tanah, relief permukaan tanah yang memungkinkan air tinggal di permukaan tanah lebih lama sehingga mendorong terjadinya infiltrasi, tipe saluran yang terbentuk akibat aliran permukaan yang dapat memicu terjadinya aliran cepat air tanah (quick flow).
Karakteristik fisik DAS merupakan variabel dasar yang menentukan proses hidrologi pada DAS seperti terrain dan geomorfologi, pola pengaliran dan penyimpanan air sementara pada DAS, dapat membantu mengidentifikasi daerah yang memiliki kerentanan tinggi terhadap terjadinya persoalan DAS, serta perancangan teknik-teknik pengendalian yang sesuai dengan kondisi setempat.
Pola pengaliran dan penyimpanan air dalam DAS sangat dipengaruhi oleh karakteristik tanah, bahan induk (geologi), morfometri DAS dan penggunaan lahan. Karakteristik ini menentukan banyaknya air hujan yang dialirkan atau tertahan, kecepatan aliran, dan waktu tempuh air dari tempat terjauh sampai dengan outlet (waktu konsentrasi) yang berpengaruh pada kejadian banjir, baik banjir yang berbentuk genangan (inundasi) maupun banjir bandang pada DAS tersebut.
Kecamatan Kelara, terdapat potensi sumber air yang sebenarnya tersedia cukup melimpah untuk memasok keperluan pengairan dan kebutuhan air minum. Di wilayah DAS ini termasuk ke dalam salah satu cekungan air tanah yaitu cekungan air tanah Bantaeng yang meliputi hampir semua wilayah DAS Kelara. Beberapa kecamatan lain seperti Kecamatan Binamu, Bangkala dan Bangkala Barat terdapat alur sungai yang cukup besar dengan debit air memadai. Keberadaan sumberdaya air ini baru mulai dimanfaatkan pada periode tahun 1990-an khususnya untuk pasokan air minum di ibukota kabupaten. Akan tetapi di beberapa kecamatan lain yang letaknya diatas 100 m dari permukaan laut, pasokan air menjadi semakin sulit dan langka, sebagai akibat belum terbangunnya jaringan sekunder dan tersier keseluruh wilayah. Keberadaan tiga buah bendungan di sekitar wilayah Kecamatan Kelara sampai saat ini belum berarti banyak baik untuk keperluan pengairan maupun untuk memutar turbin listrik.
Ada beberapa kriteria dari fungsi DAS yang berhubungan dengan karakteristik lokasi dan aliran sungai, relevansinya dengan multi pihak yang tinggal di daerah hilir serta beberapa indikatornya. Karakteristik alami diantaranya curah hujan, jenis tanah, akar vegetasi alami sebagai jangkar tanah. Kriteria yang dijadikan patokan ditinjau dari segi transmisi air, pelepasan air secara bertahap, memelihara kualitas air, mengurangi longsor.
Sedangkan relevansi dengan pengguna dan pihak terkait lainnya Semua pengguna air, terutama masyarakat yang berada di daerah hilir adalah masyarakat yang tidak memiliki sistem penyimpanan air untuk ketersediaan air pada musim kemarau (water reservoir : misalnya danau, waduk, embung atau tandon air), masyarakat yang tidak memiliki sistem purifikasi, petani dan nelayan, masyarakat yang tinggal di kaki bukit yang berpotensi tinggi terjadi (tertimpa) aliran lumpur, banjir dan tanah longsor PLTA, sehubungan dengan umur paruh waduk. Ini dilihat dari indikator hasil air per curah hujan tahunan, Ketersediaan air selama musim kemarau, ketersediaan air bersih sepanjang waktu keberadaan jenis ikan tertentu, intensitas kejadian longsor biodiversitas dan bioindikator (adanya bentos, nimfa bangsa plekoptera dan lain-lain).
Salah satu faktor terpenting penyebab terganggunya fungsi hidrologi di kawasan DAS Kelara yang berujung terjadinya bencana alam adalah aktifitas manusia yang terus maningkat. Penebangan hutan ilegal, perambahan hutan untuk dijadikan kawasan perkebunan, penggunaan lahan untuk berbagai kepentingan yang tidak menerapkan kaidah konservasi tanah dan air atau yang melebihi daya dukungnya serta lemahnya penegakan hukum terhadap para pelanggar peraturan perundangan. Di samping itu, banyaknya perambahan kawasan hutan dan konservasi daerah resapan air di daerah hulu DAS menjadi perkebunan, yang menyebabkan kapasitas infiltrasi air hujan sangat menurun dan aliran air permukaan meningkat dengan drastis.
Langkah-langkah yang telah dilakukan pemerintah untuk melestarikan kembali hutan yang rusak. Dengan mengadakan penghijauan, dan penanaman pohon serta mencegah timbulnya pembalakan liar. Departemen kehutanan telah melakukan tata guna hutan, dimana kawasan hutan ditata dalam tiga fungsi utama yaitu hutan produksi, hutan lindung dan hutan konservasi. Pembagiannya ditentukan berdasarkan faktor curah hujan tahunan, jenis tanah dan kemiringan lereng. Sementara Kondisi alami seperti keadaan geologi, tanah, topografi dan curah hujan yang tinggi dibanyak DAS sangat rawan untuk terjadi tanah longsor dan banjir.

Friday, April 13, 2012

Masalah Sedimentasi DAS Kelara, Kab. Jeneponto

Sedimentasi adalah suatu proses pengendapan material yang ditranspor oleh media air, angin, es/gletser di suatu cekungan (Djauhari Noor, 2011). Akhir-akhir ini, persoalan seperti erosi, sedimentasi, longsor dan banjir pada DAS intensitasnya semakin meningkat. Persoalan-persoalan tersebut merupakan bentuk respon negatif dari komponen-komponen DAS terhadap kondisi curah hujan. Kuat atau lemahnya respon sangat dipengaruhi oleh karakteristik DAS baik secara fisik, maupun sosial ekonomi serta budaya masyarakatnya.

Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, kerusakan hutan telah menjadi masalah serius di kawasan DAS. Hal ini tentu akan menyebabkan erosi, sedimentasi di sungai, waduk dan danau serta peningkatan peningkatan debit air sungai yang menyebabkan banjir di daerah tengah dan hilir DAS seperti yang terjadi di Waduk Kelara. Waduk tersebut telah menjadi salah satu sarana irigasi, kini kondisinya tidak kalah memprihatinkannya akibat sedimentasi. Pada musim penghujan saja, debit air di Waduk Kelara hanya satu meter dari kedalaman waduk yang mencapai 10 meter (Media Indonesia.com, edisi 13/02/2012)

Menurut Hallaf yang dikutip dari WALHI Sulsel, selama ini, solusi pemerintah hanya tertuju pada masalah penggundulan hutan. Penggundulan hutan hanyalah sebahagian dari faktor penyebab tanah berlumpur dan batu-batu longsor, ditambahkan dengan jumlah curah hujan yang tinggi di lereng Lompobattang. Fakta membuktikan sejarah geologi/geomorfologi sebuah bentang alam yang telah terjadi pada perjalanan hidup waduk Kelara di Jeneponto. Sama seperti yang di alami oleh waduk Bili-Bili, ada dua fakta yang mengancam waduk Kelara yakni erosi dan longsor. Air sungai Kelara tidak akan pernah berhenti mengalir, mengerosi lapisan-lapisan tanah dan bebatuan di lereng Pegunungan Lompobattang. Luas DAS Kelara yang menjadi penadah air hujan (catchment area) bagi waduk Kelara tidak akan bisa menampung laju erosi yang ada. Air hujan yang mengalir di permukaan tanah itu kemudian berkumpul dan berkonsentrasi pada alur-alur anak sungai.

"Ini kerja alam, jangan hanya melihat curah hujan. Tapi kita harus melihat gravitasi. Dia akan berhenti kalau gunung ini sudah rata" (Abd. Hallaf Hanafie Prasad).

Kondisi muara sungai Kelara yang dipenuhi sedimen (bawah), dan endapan lumpur yang sudah bervegetasi (atas). (Sumber : Aryadi Nurfalaq, diambil 28 Maret 2012)

Masalah lain juga terjadi di daerah muara sungai Kelara. Akibat sedimentasi ini, muara sungai mengalami pendangkalan sehingga tidak dapat lalui oleh perahu nelayan (foto 2). Ini berdampak pada produktifitas petani dalam mencari tangkapan ikan. Efeknya masyarakat sekitar dalam mengkonsumsi hasil tangkapan ikan menjadi terbatas.