Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, kerusakan hutan telah menjadi masalah serius di kawasan DAS. Hal ini tentu akan menyebabkan erosi, sedimentasi di sungai, waduk dan danau serta peningkatan peningkatan debit air sungai yang menyebabkan banjir di daerah tengah dan hilir DAS seperti yang terjadi di Waduk Kelara. Waduk tersebut telah menjadi salah satu sarana irigasi, kini kondisinya tidak kalah memprihatinkannya akibat sedimentasi. Pada musim penghujan saja, debit air di Waduk Kelara hanya satu meter dari kedalaman waduk yang mencapai 10 meter (Media Indonesia.com, edisi 13/02/2012)
Menurut Hallaf yang dikutip dari WALHI Sulsel, selama ini, solusi pemerintah hanya tertuju pada masalah penggundulan hutan. Penggundulan hutan hanyalah sebahagian dari faktor penyebab tanah berlumpur dan batu-batu longsor, ditambahkan dengan jumlah curah hujan yang tinggi di lereng Lompobattang. Fakta membuktikan sejarah geologi/geomorfologi sebuah bentang alam yang telah terjadi pada perjalanan hidup waduk Kelara di Jeneponto. Sama seperti yang di alami oleh waduk Bili-Bili, ada dua fakta yang mengancam waduk Kelara yakni erosi dan longsor. Air sungai Kelara tidak akan pernah berhenti mengalir, mengerosi lapisan-lapisan tanah dan bebatuan di lereng Pegunungan Lompobattang. Luas DAS Kelara yang menjadi penadah air hujan (catchment area) bagi waduk Kelara tidak akan bisa menampung laju erosi yang ada. Air hujan yang mengalir di permukaan tanah itu kemudian berkumpul dan berkonsentrasi pada alur-alur anak sungai.
No comments:
Post a Comment